Menurut
Scoot (2000) dalam Dewi (2001) Manajemen laba merupakan cara yang
digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis dan
sengaja dengan cara memilih kebijakan akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu
dengan tujuan memaksimalkan utility manajemen dan harga saham.
Manajemen laba menjadi suatu hal yang tidak baik dilakukan karena informasi
laporan keuangan yang disajikan berkurang reliabilitasnya, sehingga dikuatirkan
akan berakibat pada pengambilan keputusan yang keliru.
Manajemen
laba mencakup dua bentuk utama yaitu yang pertama manajemen melakukan upaya
perataan laba (Income Smoothing) untuk setiap periode dan yang kedua manajemen
melakukan upaya peningkatan (pemaksimalan) atau penurunan (peminimalan) laba
dalam suatu periode. Barnea Et Al (1976)
dalam Dwiatmini dan Nurcolis (2001)
mendefenisikan perataan laba sebagai pengurangan yang disengaja terhadap
fluktuasi pada beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan.
Defenisi perataan laba menurut Beildman (1973)
adalah suatu usaha yang dilakukan manajemen untuk menekan variasi dalam laba
sejauh yang dimungkinkan oleh prinsip akuntansi.
Koch (1981) dalam Hermawan (1998) yang dikutip Ariyani (2004) menyatakan bahwa perataan laba
merupakan alat yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi besarnya
variabilitas pendapatan atau laba yang dilaporkan untuk tujuan tertentu dengan
cara memanipulasi variable artifical (akuntansi)
atau variable real(transaksi).
Sofyan Syafri dalam bukunya yang berjudul Analisa Kritis Atas Laporan
Keuangan, menyatakan bahwa praktik perataan laba adalah upaya menstabilkan
laba dimana tidak banyak variance dari satu periode ke periode
lain sehingga dinilai sebagai prestasi baik.
Menurut
Hepworth (1953) yang didukung Ashari, dkk (1994) dan Zuhroh (1996) dalam Jatiningrum (2000), bahwa tindakan perataan laba
merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi manajer untuk meratakan laba
dengan menggunakan cara atau metode akuntansi tertentu, alasannya antara lain
pertama, rekayasa untuk mengurangi laba dan menaikkan biaya pada periode
berjalan dapat mengurangi hutang pajak. Kedua, tindakan perataan laba dapat
meningkatkan kepercayaan investor, karena mendukung kestabilan penghasilan dan
kebijakan deviden sesuai dengan keinginan. Ketiga,
tindakan perataan laba dapat mempererat hubungan antara manajer dan karyawan,
karena dapat mengindari permintaan kenaikan upah/gaji oleh karyawan/pekerja.Dan
keempat, tindakan perataan laba memiliki dampak psikologis pada perekonomian,
dimana kemajuan dan kemunduran dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan
pesimisme dapat ditekan.
Ditambahkan
pula oleh Gordon (1964)
dalam Jatiningrum (2000),
bahwa perataan laba mempunyai peranan yang penting untuk mengurangi bias dari
pemegang saham dalam memperhitungkan laba di masa lalu, yang digunakan untuk
memprediksi laba di masa depan. Lebih lanjut, Lambert (1984) dan Dye (1988)
dalam Jatiningrum (2000)
dalam seting keagenan menyebutkan bahwa manajer yang mempunyai resiko menolak
untuk terhindar dari hutang dan pinjaman di dalam pasar modal, memiliki daya
dorong untuk melakukan tindakan perataan laba. Pendapat ini didukung oleh
Trueman dan Tritman (1998)
dalam Jatiningrum (2000)
dalam seting market yang berhubungan dengan kreditor, menunjukkan bahwa manajer
lebih menyukai alternatif yang menghasilkan aliran kas yang lebih merata.
Perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan
secara sengaja untuk mencapai trend atau level laba tertentu (Belkaoui, 1993).
Definisi income smoothing lainnya
adalah difinisi yang dikemukakan oleh Beidelman (1973) sebagai berikut:
Perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai
usaha yang sengaja untuk meratakan dan mengfluktuasikan tingkat laba sehinnga
pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan.
Salah satu fenomena menarik dalam akuntansi yang
berkaitan dengan laba adalah kejadian yang berkaitan dengan perataan laba (income smoothing). Ada beberapa pendapat
yang mencoba membahas fenomena tersebut dan mencoba menguji secara empiris
kebenaran peraktik income smoothing
yang dilakukan oleh manajer.
Perataan laba menunjukkan suatu usaha manajemen
perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diijinkan
dalam praktik akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar.
Ada beberapa alasan yang digunakan untuk menjelaskan
mengapa manajer melakukan perataan laba. Heyworth (1953) menyatakan bahwa
motivasi yang mendorong dilakukannya perataan laba adalah untuk memperbaiki
hubungan dengan kreditor, investor, dan karyawan, serta meratakan siklus bisnis
melalui proses psikologis. Sementara itu, Gordon (1964) mengajukan
proporsi berkaitan dengan perataan laba sebagai berikut:
1. Kriteria yang digunakan manajemen perusahaan dalam
memilih metode akuntansi adalah untuk memaksimumkan kepuasan atau kemakmuran.
2. Kepuasan merupakan fungsi dari keamanan pekerjaan, level,
dan tingkat pertumbuhan gaji serta level dan tingkat pertumbuhan besaran(size) perusahaan.
3. Kepuasan pemegang saham dan kenaikan performan perusahaan
dapat meningkatkan status dan reward
bagi manajer.
4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan
dan stabilitas laba perusahaan.
Atas dasar proposisi tersebut Gordon mengajukan teori
sebagai berikut:“Jika empat proposisi diatas diterima atau terbukti benar, maka
manajemen dengan keterbatasan kekuasaan (power) yang
dimiliki, sesuai dengan aturan akuntansi, akan (1) meratakan laba yang
dilaporkan, dan (2) meratakan tingkat pertumbuhan laba. Dengan meratakan
tingkat pertumbuhan laba berarti: jika tingkat pertumbuhan laba tinggi, maka
manajemen akan mengadopsi praktik/metode akuntansi yang dapat mengurangi laba
dan sebaliknya.
Beidelman (1973) menyatakan bahwa ada dua alasan yang digunakan
manajemen untuk melakukan income
smoothing. Alasan pertama didasarkan pada asumsi bahwa pola laba periodik
yang stabil dapat mendukung tingkat diveden yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pola laba periodik yang berfluktuasi. Dengan anggapan tersebut perataan
laba diharapkan memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham
perusahaan karena risiko perusahaan dapat dikurangi. Argumen kedua berkaitan
dengan upaya meratakan kemampuan untuk mengantisipasi pola fluktuasi laba
periodik dan kemungkinan mengurangi korelasi kembalian yang diharapkan dari
perusahaan (firm’s expected return)
dengan kembalian portefolio pasar (return
on market portfolio).
Penulisan : Christinawati (3203012126)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar